Skip to main content

Jelang Lebaran, Pasar Malam Kodam Hingga Royal Plaza Dipadati Pengunjung 

  Menjelang lebaran, pasar malam Kodam hingga Royal Plaza di Surabaya dipadati pengunjung. Hari Raya Idul Fitri 1445 H, tinggal menghitung hati saja. Banyak masyarakat yang berbondong-bondong memadati tempat perbelanjaan. Seperti yang kita ketahui, membeli baju baru saat lebaran seakan sudah menjadi tradisi di Indonesia. Tak ayal jika banyak orang-orang memburu baju, aksesoris, hingga jajanan untuk menyambut momen ini.  Terlebih jika upah kerja hingga Tunjangan Hari Raya (THR) sudah diterima semua. Berbagai tempat perbelanjaan, seperti minimarket, pasar, dan mall pun penuh. Belum lagi dengan adanya jadwal buka bersama (Bukber). Sejenis tempat makan, seperti warung, cafe, dan restoran pun turut dipadati pengunjung. Dua dari sekian banyak tempat di Surabaya yang dipadati pengunjung ialah Royal Plaza. Pada video yang diunggah akun Instagram ini_surabaya, menunjukkan suasana padat di tempat yang dijuluki sebagai mall sejuta umat ini. "Royal Plaza lautan manusia rek. Hayo siapa yan...

#reformasidikorupsi



          Sebelumnya masih ingat betul pada 11 April 2017 yang lalu, kasus penyiraman air keras yang dialami Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, terjadi usai ia melaksanakan salat subuh di masjid Al Ihsan di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dekat rumahnya.

           Akibat serangan tersebut, mata kiri Novel rusak permanen meski telah menjalani beberapa operasi di Singapura. Namun, ironisnya dua tahun lebih kasus ini masih menjadi misteri. Padahal Dewan Pakar Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Kapolri Jenderal Tito Karnivan, yang beranggotakan para pegiat Ham Asasi Manusia( HAM), Akademisi, hingga pakar, yang saat itu telah enam bulan bekerja masih gagal mengungkap pelaku peneroran tersebut.

           TPF hanya mengungkapkan  bahwa serangan terhadap Novel bukan serangan dengan  alasan pribadi, melainkan ada faktor pekerjaan dalam tugasnya dalam memberantas korupsi. Allih-alih mengungkap pelaku atau bahkan aktor intelektual, tim justru mengembangkan motif terjadinya teror.

          Bukankah lucu, ketika pelaku peneroran belum terungkap, justru tim membuat kesimpulan menganai motif pelaku? Di mana-mana motif dapat diketahui karena pelaku sudah ditemukan. Ini yang membuat masyarakat, khususnya dari pihak KPK merasa sangat kecewa.

          Selain itu, banyak kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam kasus ini. Mengantongi bukti-bukti yang didapat dari rekaman CCTV, dan keterangan saksi kunci yang sempat melihat wajah pelaku, Kapolda Metro Jaya merilis sketsa terduga pelaku yang kemiripannya mencapai 90 persen, pada Jum'at (24/11/2017) atau sekitar tujuh bulan setelah serangan tersebut. Namun anehnya beberapa pelaku yang sempat diduga tersebut, menurut Kapolda Idham Azis, bukanlah pelaku yang menyerang Novel. Bukankah dengan presentase tersebut, harusnya memudahkan penyelidikan polisi?

          Pengusutan kasus Novel seperti ini harusnya mendapatkan perhatian lebih, khususnya dari Presiden terpilih. Pasalnya, pengusutan kasus tersebut menunjukkan bagaimana komitmen penyelenggaraan negara terhadap pemberantasan korupsi.

          Puri Kencana Putri, selaku Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia mendesak agar Joko Widodo lebih proaktif dan segera menyetujui untuk membuat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang bersifat independen. Dengan begitu kasus teror tersebut dapat segera terungkap pelakunya.

          Bahkan imbas dari tak pernah terselaikannya kasus ini, memunculkan teror lainnya. Mulai teror di rumah pimpinan dan wakil ketua KPK, Agus Rahardjo dan Laode Muhammad Syarief. Hingga pula terjadinya penganiayaan pegawai KPK yang tidak pernah terungkap.

           Inilah yang membuat masyarakat jadi kehilangan kepercayaan kepada pihak kepolisian bahkan kecewa pada Presiden. Orang-orang yang diharapkan dapat segera mengungkap segala jenis serangan ini justru sangat lemah mengusut hal-hal yang sebenarnya receh tersebut. Bagaimana tidak receh? Polisi telah mengantongi bukti-bukti, dari CCTV, hingga saksi-saksi kunci, namun lebih dari dua tahun kasus ini dibiarkan menjadi misteri, yang seolah ditutup rapat-rapat oleh Polisi bahkan Presiden sendiri.

           Padahal seperti yang ditulis pada sampul halaman Koran Tempo. Jokowi yang saat itu masih menjadi calon Presiden, tepatnya pada 24 Juni 2014, ia mengatakan ingin perkuat KPK, dengan menambahkan anggaran hingga 10 kali lipat.

          Justru janjinya yang ingin perkuat KPK, kini berbanding terbalik. Padahal memperkuat KPK bukan semata-mata hanya sekadar mengenai penambahan anggaran, namun dari hal-hal dasar contohnya dimulai dari menuntaskan pengungkapan kasus-kasus teror dan penyerangan terhadap anggota KPK.

          Belum usai masalah tersebut, kini Jokowi justru melayangkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR, tentang revisi UU KPK. Yang di mana Surpres tersebut telah diterima DPR, Rabu (11/9). Dalam isinya, Jokowi menunjuk menteri HAM dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bersama DPR.

           Pada poin ketiga pada Supres tersebut telah tertulis "KPK merupakan lembaga negara sebagai state auxilliary agency atau lembaga negara di dalam ranah eksekutif yang dalam tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun".Lantas mengapa Presiden menyetujui bahkan revisi UU KPK ini sampai disahkan, Selasa (17/9)?

            Sebenarnya yang masih mengganjal ialah dalam poin-poin selanjutnya, perihal Pembentukan Dewan Pengawas serta tentang pelaksanaan fungsi penyadapan. Apakah dalam studi kasus anggota/penyidik KPK pernah melakukan penyalahgunaan terhadap kekuasaannya dalam melaksanakan tugas? Hingga dibentuk sebuah Dewan Pengawas.

            Jika menurut Presiden hal tersebut disetujui agar KPK mengurangi penyalahgunaan wewenang, apakah Ia yakin betul bahwa Dewan Pengawas benar-benar independen, tanpa ditunggangi oknum-oknum tertentu? Apakah yakin Dewan Pengawas tidak menyalahgunakan wewenangnya? SAYA SIH SANGAT TIDAK YAKIN.

             Namun karena sudah terlanjur disahkannya revisi UU  KPK tersebut, seperti yang disampaikan oleh Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus, Jokowi bisa mengeluarkan Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan revisi UU KPK. Itu menjadi hak prerogatif presiden tanpa harus meminta pandangan siapapun. Jokowi disebut bisa menggunakan kekuasaannya secara penuh.

            Mendengar hal tersebut setidaknya membuat hati sedikit lega, karena merasa masih punya harapan. Tapi sayangnya, semua dibantahkan. Senin (23/9), di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Presiden memastikan bahwa tidak ada penerbitan Perppu mengenai revisi UU KPK.

            Mendengar kenyataan itu, rasanya KPK akan benar-benar berucap "Sudah cukup sampai di sini saja". Kalau kata Didi Kempot sih, Ambyar.
Ya, tahu sendiri beberapa waktu lalu juga telah diumumkan bahwa pemimpin KPK terpilih ialah Firli Bahuri yang berlatarbelakang kepolisian.

           Padahal, awal mula pemilihan ketua KPK dibentuk atas dasar ketidakpercayaan masyarakat oleh aparat hukum, seperti polisi dan kejaksanan. Ini yang sekaligus menambahkan daftar hal-hal ganjil lainnya.

            Bagaimana Firli yang  juga sebagai pihak dari kepolisian dapat turun menangani korupsi? Jika masalah sebelum-sebelumnya saja masih mangkrak bertahun-tahun dan dibiarkan hingga kini, yang mulai sekarat atau bahkan telah mati.Belum lagi yang Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai tersangka koruptsi bisa ambil cuti. Lucu sekali bukan?

            Mengenai masalah yang menyangkut kemaslahatan masyarakat umum ini, membuat hampir seluruh masyarakat sipil dan mahasiswa di Indonesia melakukan aksi turun ke jalan. Mulai dari #reformasidikorupsi #gejayanmemanggil hingga #surabayamenggugat, merupakan bentuk satu aksi yang dalam garis besarnya sama, yakni menolak RUU bermasalah.

            Salah satunya, yang dilakukukan oleh mahasiswa/i Fakultas Ilmu Sosial & Politik, di Universitas Airlangga Kampus B, Surabaya, Jum'at (20/9) lalu. Aksi yang dimulai dengan berorasi mengelilingi gedung Fisip tersebut, merupakan  bentuk perwakilan kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap keputusan DPR. Meski akhirnya makin bertambah aksi-aksi serupa di kota-kota lain di Indonesia. Bahkan, beberapa aksi di antaranya tampak berjalan anarkis dan sampai memakan korban.

   Namun perjuangan kami untuk merebut kembali reformasi yang dikorupsi, belum cukup sampai di sini. Mulai dari Aliansi Sipil hingga Mahasiswa masih harus turun jalan dalam aksi #surabayamenggugat, di Gedung DPRD Jawa Timur, Kamis (26/9).






Comments

Popular posts from this blog

Jelang Lebaran, Pasar Malam Kodam Hingga Royal Plaza Dipadati Pengunjung 

  Menjelang lebaran, pasar malam Kodam hingga Royal Plaza di Surabaya dipadati pengunjung. Hari Raya Idul Fitri 1445 H, tinggal menghitung hati saja. Banyak masyarakat yang berbondong-bondong memadati tempat perbelanjaan. Seperti yang kita ketahui, membeli baju baru saat lebaran seakan sudah menjadi tradisi di Indonesia. Tak ayal jika banyak orang-orang memburu baju, aksesoris, hingga jajanan untuk menyambut momen ini.  Terlebih jika upah kerja hingga Tunjangan Hari Raya (THR) sudah diterima semua. Berbagai tempat perbelanjaan, seperti minimarket, pasar, dan mall pun penuh. Belum lagi dengan adanya jadwal buka bersama (Bukber). Sejenis tempat makan, seperti warung, cafe, dan restoran pun turut dipadati pengunjung. Dua dari sekian banyak tempat di Surabaya yang dipadati pengunjung ialah Royal Plaza. Pada video yang diunggah akun Instagram ini_surabaya, menunjukkan suasana padat di tempat yang dijuluki sebagai mall sejuta umat ini. "Royal Plaza lautan manusia rek. Hayo siapa yan...

Belum Ada Negara yang Runtuh Karena Kebebasan Pers

       Dalam buku " SBY dan Kebebasan Pers", Zainal Muttaqin selaku Ketua Serikat Pers Kaltim dan Direktur Utama Kaltim Pos menuliskan bahwa ia sempat teringat pernyataan mantan Kasdam Mulawarman, Yunus Yosfiah yang pernah menjabat Menteri Penerangan di awal era reformasi.          "Belum ada negara yang runtuh karena keterbukaan informasi, karena persnya bebas," tegasnya.      Menurut Zainal, SBY telah mengajarkan kepada rakyatnya bahwa menjadi pemimpin, bahkan sampai pada level presiden, harus siap menerima kritik setiap saat apapun bentuknya. Walaupun harus diakui, kritik itu sendiri tidak selalu demi kemajuan. Bahkan banyak kritik yang sekadar untuk melampiaskan hasrat pengkritiknya.     Hal tersebut merupakan contoh yang sangat baik dalam keterbukaan informasi, bahwa kritik pers terhadap pemimpinnya, terhadap pemerintahannya adalah suatu keniscayaan yang tidak terhindarkan. Meski kritik tidak menye...

Drama Skripsi

              S ebelum melakukan KRS semester delapan, ketika hendak menempuh  Mata Kuliah (M atkul) Skripsi, dalam hati tidak ada persiapan sama sekali. Mulai dari judul bahkan gambaran ingin mengangkat topik apa? Semuanya tak terlintas di kepalaku. Seperti kosong, membiarkan mengalir bagai air. Semua diperparah dengan adanya pemberlakuan kurikulum baru. Entahlah, sebelum menentukan Kartu Rencana Studi (KRS) selalu saja terjadi huru-hara. Kali ini lebih parah. Matkul  Praktikum dan Skripsi yang bisa ditempuh semester tujuh, harus diambil di semester delapan. Alasannya karena pandemi. Diklaim bahwa banyaknya praktik pada matkul Praktikum akhirnya digeser ke semester genap. Sedangkan matkul Skripsi tidak boleh diambil sebelum mahasiswa/i lulus matkul magang. Padahal tahun-tahun sebelumnya boleh-boleh saja keduanya ditempuh bersamaan. Ah, ya sudahlah. Lantas tak berhenti di situ. Karena pemberlakuan kurikulum baru, tiba-tiba ada kebijakan b...