Skip to main content

Jelang Lebaran, Pasar Malam Kodam Hingga Royal Plaza Dipadati Pengunjung 

  Menjelang lebaran, pasar malam Kodam hingga Royal Plaza di Surabaya dipadati pengunjung. Hari Raya Idul Fitri 1445 H, tinggal menghitung hati saja. Banyak masyarakat yang berbondong-bondong memadati tempat perbelanjaan. Seperti yang kita ketahui, membeli baju baru saat lebaran seakan sudah menjadi tradisi di Indonesia. Tak ayal jika banyak orang-orang memburu baju, aksesoris, hingga jajanan untuk menyambut momen ini.  Terlebih jika upah kerja hingga Tunjangan Hari Raya (THR) sudah diterima semua. Berbagai tempat perbelanjaan, seperti minimarket, pasar, dan mall pun penuh. Belum lagi dengan adanya jadwal buka bersama (Bukber). Sejenis tempat makan, seperti warung, cafe, dan restoran pun turut dipadati pengunjung. Dua dari sekian banyak tempat di Surabaya yang dipadati pengunjung ialah Royal Plaza. Pada video yang diunggah akun Instagram ini_surabaya, menunjukkan suasana padat di tempat yang dijuluki sebagai mall sejuta umat ini. "Royal Plaza lautan manusia rek. Hayo siapa yan...

Biografi


Fitri Yuliani adalah seorang anak yang lahir dari keluarga sederhana. Gadis kelahiran 11 April 1995 ini, semenjak menginjak usia satu tahun sudah dibawa oleh kedua orangtuannya untuk tinggal di Surabaya. Dulu ketika sekolah dasar, ia menjadi pelajar yang lulus dengan nilai tertinggi di sekolahnya, MI Al-Hidayah.

Kebanggaan tersendiri tentu untuk ia dan keluarga. Meski awalnya ia sempat tidak yakin dengan pengumuman dari Kepala Sekolah, karena selama ini peringkat paling tinggi yang pernah Fitri dapat adalah tiga. Fitri tidak pernah menjadi nomor satu di kelas. Namun, ternyata kenyataan di akhir kelulusan berkata lain.

Target pertamanya, ia berharap dapat diterima di SMPN 16 Surabaya. Karena letaknya yang dekat dengan rumah dan cukup ditempuh menggunakan sepada kayuh saja. Selain di sana, ia memiliki opsi lain, yakni di SMPN 24. Alasan memilih di sana karena sekolahnya yang berdekatan dengan sekolah sang kakak, Dayu Rokhani.

Ketika pengumuman disampaikan, ternyata Fitri diterima di SMPN 34 Surabaya. Ia pun tidak berkecil hati, dirinya bahkan cukup senang karena ada beberapa teman ia kenal. Namun, orangtua tidak sampai hati membiarkan anaknya mengayuh sepeda hingga melewati persawahan dengan rumput yang menjulang tinggi. Khususnya sang ibu yang membayangkan jika turun hujan atau bahkan saat ada acara sekolah hingga mengharuskan untuk pulang larut malam. 

Sebenarnya wajar saja, karena sang ibu tidak bisa mengendarai sepedah ataupun motor yang setiap saat dapat mengantar jemput anaknya. Sedangkan sang Ayah saat itu bekerja sebagai sopir truk antar kota dan jarang berada di rumah. Meski sebenarnya, bisa naik angkot, tapi akan membutuhkan biaya dua kali lipat karena harus oper. Bayangkan saja jika pulang pergi dari sekolah ke rumah dan sebaliknya butuh 4x naik angkot. Intinya tidak tega.

Akhirnya Fitri disekolahkan di SMP YPM 1 Taman Sidoarjo. Meski berbeda kota, namun justru lokasinya tergolong lebih dekat. Akses transportasinya pun juga mudah dijangkau dengan sekali naik angkot. Selain alasan tersebut, orangtuanya juga ingin memberikan pendidikan agama dengan latar belakang Nahdlatul Ulama kepada sang anak.

Fitri pun tidak pernah menyesal dengan pilihan Ibu dan ayahnya tersebut. Karena selain mendapat ilmu pendidikan dan agama, ia juga bersyukur telah banyak mendapat teman dari latar tempat tinggal yang berbeda-beda. Mulai dari Surabaya, Sidoarjo, hingga Gresik. Lebih beragam menurutnya.

Sebelum lulus dari SMP, perempuan berkulit sawo matang ini sudah berencana untuk melanjutan ke SMK YPM 3 Taman. Di sana ia ingin mengambil jurusan Multimedia. Dalam bayangannya, nanti dengan jurusan tersebut bisa mengantarkannya menjadi seseorang yang bekerja di dunia pertelevisian. Tak hanya itu, dirinya pun sudah ada rencana untuk mengambil ekstraklikuler Jurnalistik. Maklum saja, memang ia dari dulu memang mempunyai peminatan dalam bidang tersebut.

Alhasil, ia pun akhirnya lulus dari SMK YPM 3 Taman. Namun, ia sadar betul menjadi lulusan Multimedia dengan pengalaman ekstrakulikuler Jurnalistik tidak lantas membuatnya terjun ke dunia media. Bahkan relasi pun ia tak punya. Hanya satu yang Fitri tahu, yakni harus mengasah kemampuan dan menambah relasi di perguruan tinggi. 

Karena terkendala finansial, ia harus mengurungkan niatnya untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mencoba SNMPTN pun barangkali bukanlah rejekinya. Hingga akhirnya, Fitri memilih untuk bekerja dan menabung terlebih dahulu. Lantas seorang teman berkata padanya 'Kalau sudah merasakan punya uang sendiri biasanya lupa dengan tujuan awal' begitulah kira-kira ujarnya.
Fitri hanya termenung.

Dalam hatinya bertanya-tanya, "Perasaan aku bukanlah orang seperti itu. Tapi, aku hanya bisa berusaha," batinnya. Namun, di tengah upayanya untuk mengumpulkan uang, justru ia tak bisa membagi waktu jika harus daftar kuliah. Karena pekerjaannya di perusahaan yang pertama selama dua tahun memakai sistem tiga shift.

Setelah habis kontrak, tidak lama kemudian ia akhirnya diterima kerja menjadi crew cafe. Sistem kerjanya tidak menentu, jadwal dibuat oleh kapten dengan melihat kondisi mall. Tidak bisa memilih untuk masuk pagi atau siang saja, kadang harus full middle, atau bahkan split. Berjalannya waktu ia pun hanya bisa pasrah, cari kerja pun disadarinya cukup susah.

"Mungkin jika jalannya memang tidak bisa untuk kuliah, ya sudah, pasrah. Lagi pula  keluarga juga sedang membutuhkan tambahan biaya untuk keperluan lain," batinnya sedih. Ia pun bertekat, jika memang ia tak bisa kuliah, sebagai apresiasi kerja kerasnya setidaknya ia harus bisa membeli sebuah kamera DSLR untuk belajar dan mengasah kemampuannya di bidang fotografi.

Saat itu berjalan dua tahun ia bekerja menjadi crew cafe. Fitri dipindah tempat kerja, yang awalnya di Royal Plaza pindah ke City of Tomorrow. Di sana awal semua harapan itu muncul kembali. Setidaknya dua dari partnerku memang bisa kerja sembari kuliah. Kebetulan keduanya ada di divisi berbeda, kampus berbeda, dan jam kuliah yang berbeda. Jadi, bisa saling melengkapi dengan mengatur jadwal sedemikian rupa.

Salah satu dari kedua teman itu posisi tinggal menunggu waktu wisuda. Fitri jadi tertarik untuk menggantikan posisinya, untuk kerja sambil kuliah. Lantas ia pun mengulik bagaimana pengalaman kuliah sembari bekerja dari kedua temannya. Dari sharing tersebut, harapannya pun terasa bangkit kembali. Ia mulai menabung dan meyakinkan diri, agar tahun depan bisa mendaftar untuk kuliah.

Sembari mengumpulkan uang, ia pun melakukan survei di beberapa perguruan tinggi. Selain peminatan yang sesuai harapan juga perihal biaya kuliah yang terjangkau. Akhirnya diputuskanlah di Stikosa-AWS. Di kampus kecil tersebut, ia berharap dapat menjadi 'sesuatu' yang besar nantinya.

Ia tak pernah bercerita kepada orang tua tentang rencananya untuk kuliah. Dirinya mencoba sekuat tenaga percaya pada kemampuan diri tanpa merepotkan kedua orangtuanya. Namun, karena daftar kuliah harus menggunakan ttd orangtua, ia pun akhirnya meminta restu pada ibu dan ayah.
Sang ayah sempat tidak yakin. "Kami (orangtuamu) tidak bisa membantu untuk membiayai pendidikanmu. Apa kamu yakin?" tanya Sya'roni, ayahnya.

Fitri menjawab dengan sangat yakin saat itu. Sya'roni pun akhirnya memberikan tanda tangan di lembar formulir pendaftaran kuliahnya. Saat itu, ia benar-benar membiayai sendiri uang pendaftaran, uang gedung, dan juga SPP setiap semester. Namun, ia tak pernah merasa menyesal, bahkan sebaliknya. Suatu kebanggaan bisa kuliah dengan hasil jerih payah sendiri.

Dengan memilih peminatan Jurnalistik, dia pun memutuskan untuk mengikuti organisasi pers mahasiswa di kampusnya, Acta Surya. Di sana ia mulai belajar lebih, mengenai dunia jurnalistik, teknik wawancara, hingga menulis berita. Selain itu, di sana ia mempunyai banyak relasi yang sudah bekerja di berbagai jenis media. Mulai dari cetak, elektronik, dan online.

Banyak ilmu, pengalaman, dan hikmah yang dapat dipetik dari kuliah sembari bekerja. Selain belajar bertanggungjawab pula tentang membagi waktu dan melatih mental, karena memang sedikit sulit dilakukan. Terlebih ketika, Fitri harus pindah tempat bekerja. Bukan masalah jaraknya, namun tantangan datang dari partner kerja yang sulit menerima posisinya sebagai anak kuliahan.

Pembagian waktu kerja yang menjadikannya masuk pagi terus, tak ayal membuat partner kerjanya iri. Bahkan, beberapa kali harus izin libur kerja untuk kegiatan di kampus, seperti Opspek, LKMM-TD, Diklat Indoor, Diklat Outdoor, liputan, event, dan proses Open Recruitment di Acta Surya. Semuanya membuat masa-masa kerja menjadi tekanan tersendiri. Karena di setiap posisi punya tuntutannya masing-masing. Intinya adalah tanggungjawab. Awalnya tentu susah, namun berjalannya waktu, ia pun terbiasa.

Ketika masuk semester baru waktunya Fitri untuk mengambil mata kuliah magang. Dirinya pun dengan sedikit berat hati harus mengundurkan diri dari pekerjaannya. Wajar saja, meski sedikit membuatnya tertekan tapi ia sudah merasa nyaman dengan lingkungannya bekerja. Terlebih sudah lima tahun ia di sana.
Di masa pandemi Covid-19, ia justru memilih magang di perusahaan daripada magang karya mandiri yang bisa dilakukan secara berkelompok dan dapat dikerjakan sembari bekerja. Alasannya, agar dapat menambah pengalaman terjun langsung di media mainstream.



Saat itu, Fitri sangat bersyukur dapat magang di Harian Di's Way yang merupakan media cetak baru milik Pak Dahlan Iskan. Pengalaman magang selama tiga bulan setidaknya mengajarkan hal-hal baru yang sebelumnya belum ia dapatkan. Terlebih, tentang penulisan berita lifestyle. Karena sebelumnya, di kampus maupun organisasi memang lebih banyak praktik liputan dan menulis berita hard news. Selain ilmu, relasi pun bertambah.

Usai magang, ia kembali ke aktifitasnya untuk kuliah. Tentu karena pandemi, jadi kelas dilakukan secara daring. Fitri pun memfokuskan diri untuk mengerjakan skripsi dan tugas-tugas kampus lainnya. Sembari menunggu sidang skripsi ia mencoba untuk mencari pekerjaan dan pengalaman lain. Ia tentu merasa tak enak jika harus merepotkan kedua orangtuanya. Terlebih, posisinya yang tak lagi bekerja dan memiliki pemasukan. Sedangkan biaya kuliah juga harus dibayarkan.

Ia berharap jalannya untuk menyelesaikan skripsi dimudahkan Tuhan. Mimpinya bekerja di perusahaan media, seolah sudah terpampang di depan mata. 'Tinggal selangkah lagi," batinnya.

https://drive.google.com/folderview?id=1WFyH0qYU8pAIupStt99dahBm_kIptoBa






Comments

Popular posts from this blog

Jelang Lebaran, Pasar Malam Kodam Hingga Royal Plaza Dipadati Pengunjung 

  Menjelang lebaran, pasar malam Kodam hingga Royal Plaza di Surabaya dipadati pengunjung. Hari Raya Idul Fitri 1445 H, tinggal menghitung hati saja. Banyak masyarakat yang berbondong-bondong memadati tempat perbelanjaan. Seperti yang kita ketahui, membeli baju baru saat lebaran seakan sudah menjadi tradisi di Indonesia. Tak ayal jika banyak orang-orang memburu baju, aksesoris, hingga jajanan untuk menyambut momen ini.  Terlebih jika upah kerja hingga Tunjangan Hari Raya (THR) sudah diterima semua. Berbagai tempat perbelanjaan, seperti minimarket, pasar, dan mall pun penuh. Belum lagi dengan adanya jadwal buka bersama (Bukber). Sejenis tempat makan, seperti warung, cafe, dan restoran pun turut dipadati pengunjung. Dua dari sekian banyak tempat di Surabaya yang dipadati pengunjung ialah Royal Plaza. Pada video yang diunggah akun Instagram ini_surabaya, menunjukkan suasana padat di tempat yang dijuluki sebagai mall sejuta umat ini. "Royal Plaza lautan manusia rek. Hayo siapa yan...

Belum Ada Negara yang Runtuh Karena Kebebasan Pers

       Dalam buku " SBY dan Kebebasan Pers", Zainal Muttaqin selaku Ketua Serikat Pers Kaltim dan Direktur Utama Kaltim Pos menuliskan bahwa ia sempat teringat pernyataan mantan Kasdam Mulawarman, Yunus Yosfiah yang pernah menjabat Menteri Penerangan di awal era reformasi.          "Belum ada negara yang runtuh karena keterbukaan informasi, karena persnya bebas," tegasnya.      Menurut Zainal, SBY telah mengajarkan kepada rakyatnya bahwa menjadi pemimpin, bahkan sampai pada level presiden, harus siap menerima kritik setiap saat apapun bentuknya. Walaupun harus diakui, kritik itu sendiri tidak selalu demi kemajuan. Bahkan banyak kritik yang sekadar untuk melampiaskan hasrat pengkritiknya.     Hal tersebut merupakan contoh yang sangat baik dalam keterbukaan informasi, bahwa kritik pers terhadap pemimpinnya, terhadap pemerintahannya adalah suatu keniscayaan yang tidak terhindarkan. Meski kritik tidak menye...

Drama Skripsi

              S ebelum melakukan KRS semester delapan, ketika hendak menempuh  Mata Kuliah (M atkul) Skripsi, dalam hati tidak ada persiapan sama sekali. Mulai dari judul bahkan gambaran ingin mengangkat topik apa? Semuanya tak terlintas di kepalaku. Seperti kosong, membiarkan mengalir bagai air. Semua diperparah dengan adanya pemberlakuan kurikulum baru. Entahlah, sebelum menentukan Kartu Rencana Studi (KRS) selalu saja terjadi huru-hara. Kali ini lebih parah. Matkul  Praktikum dan Skripsi yang bisa ditempuh semester tujuh, harus diambil di semester delapan. Alasannya karena pandemi. Diklaim bahwa banyaknya praktik pada matkul Praktikum akhirnya digeser ke semester genap. Sedangkan matkul Skripsi tidak boleh diambil sebelum mahasiswa/i lulus matkul magang. Padahal tahun-tahun sebelumnya boleh-boleh saja keduanya ditempuh bersamaan. Ah, ya sudahlah. Lantas tak berhenti di situ. Karena pemberlakuan kurikulum baru, tiba-tiba ada kebijakan b...